Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

<b></b>

Selasa, 18 Mei 2010

Catatan hati seorang Menantu

Namaku Andi, seorang sarjana hukum dari universitas negeri di Pulau Bacang. Setelah lulus dan menjadi seorang sarjana, akhirnya tahun 2010 ini diriku berhasil menjadi pegawai negeri sipil di lingkungan pemda tersebut.

Diriku lumayan ganteng, perawakan tinggi sekitar 170 cm, bapak dan ibuku pun termasuk orang berada, meskipun tidak dibilang kaya. Ayahku bekerja sebagai seorang kontraktor, sedangkan ibuku bekerja di Pemda Bacang dimana aq juga bekerja.

Aq mencintai seorang gadis. Namanya Ani, teman SMA dan kuliahku. Meskipun aq memiliki banyak pacar di luar sana, dia adalah cinta pertamaku. Ketika SMA bahkan hingga kuliah dia tak pernah mau menerimaku untuk menjadikannya pacar. Entah banyak alas an yang dia utarakan. Dulu ketika SMA, dia menolakku dengan halus, dan beralasan padaku bahwa dia ingin serius belajar. Ketika kuliah, dia pun menolakku, katanya mau serius dulu mengurusi skripsi. Sebenarnya aku tau maksudnya. Dia adalah tipikal akhwat yang enggan sekali untuk pacaran. Baginya pacaran adalah senda gurau yang sangat membuang waktunya. Saya tau klo kerjaannya di kampus adalah kuliah, membaca di perpustakaan, atau bertemu dengan anak-anak geng setipe dan sealiran dengannya.

Ani, sosok yang selama ini aku cintai, memang seorang akhwat berjilbab besar. Kecantikan wajahnya dan inner beuty yang memancar diwajahnya seakan menyirap setiap orang yang memandangnya untuk mengatakan cinta kepadanya. Temanku saja yang tergolong “ikhwan” dan suka mengaji di kampus, ditolak pula lamarannya. Entah mengapa aku penasaran sekali ingin menjadikannya pacar atau seorang isteri bagi anak-anakku.

Aku memang tidak lahir dari keluarga religius. Tapi untuk soal mengaji asal bunyi pun aq bisa. Hafalan Al Qur’an ku memang tidak terlalu banyak, tapi cukuplah sepuluh surat pendek Al Qur’an dari halaman terakhir aq sudah menghafalnya sejak SD dulu.

Aku sudah membicarakan hal ini dengan orang tuaku. Aku berkehendak ingin melamarnya langsung. Aku tau klo aq menembaknya menjadi pacar buatku, tentu saja ia pasti akan menolak mentah-mentah, Orang tuaku setuju, mereka menasehatiku untuk melakukan pendekatan kepada kedua orang tuanya.

Setelah kuhubungi via telepon dan kuutarakan maksudku. Akhirnya malam minggu ini aku pun bertandang kerumahnya Ani. Bukan untuk ngapel malam mingguan dengannya, tp pengen melakukan pendekatan dengan calon mertuaku. Calon mertuaku itu pun bertanya padaku, sudah berapa lama aq bekerja di Pemda bacang?’’…aku pun menjawab bahwa diriku ini adalah pegawai baru, baru bekerja selama 3 bulan disana. Gajiku di sana hanya 2 juta rupiah.

Mereka pun menanyaiku kembali, mobil yang engkau bawa kesini ini milik siapa? Aku pun menjawab mobil itu adalah pemberian orang tuaku. Mereka pun menasehatiku, apakah aku siap dan mantap untuk melamar ani, apakah aku siap menghidupinya dengan gaji 2 juta rupiah sebulan? Setelah itu mereka menyuruhku untuk melamarnya kembali 1 tahun lagi…mereka juga berpesan, bawalah kesini sesuatu dari keringatmu sendiri, bukan dari pemberian orang tuamu.

Aku tak habis pikir, apa yang salah dengan mobil pemberian orang tuaku itu. Dengan gajiku yang hanya 2 juta rupiah sebulan, sulit bagiku untuk mengajukan kredit mobil. Akhirnya aku pun memutuskan untuk mengambil kredit motor.

Satu tahun telah berlalu. Akhirnya aq pun kembali bertandang ke rumah calon mertua. Aku membawa sepeda motor hasil keringatku sendiri, aku pun berbangga bahwa cicilan kreditnya telah lunas bulan kemaren. Tak lupa untuk menarik hati calon mertua, aku pun membawakan mereka buah-buahan, dan sekuntum mawar cantik untuk Ani. Hatiku penuh harap, aku yakin, mereka pasti akan menerimaku menjadi menantu kesayangannya.

Kali ini calon mertua terlihat lebih ramah. Mereka senang sekali dengan kedatanganku, kelihatannya mereka senang dengan sepeda motor yang aku bawa kemari adalah dari hasil jerih payahku sendiri. Mereka pun kemudian menanyaiku kembali, apa aku sudah siap dan mantap untuk menikahi Ani. Aku pun dengan semangat membara menjawabnya iya, aku siap pak bu untuk membahagiakannya. Aku sudah mempunyai rumah, pemberian ayahku, rumahnya memang tidak bisa dikatakan mewah, hanya rumah sederhana tipe 45/150.

Mereka kemudian menatapku dengan tajam, mereka menyuruhku kembali dan datang kepada mereka 2 tahun lagi untuk menemui mereka. Syaratnya adalah aku sudah harus mempunyai rumah dari hasil jerih payah keringatku sendiri. Dijalan hatiku bingung kembali mengapa mereka seakan-akan membenci sekali jika diriku ini membawa harta pemberian orang tuaku. Tapi aku tak boleh buruk sangka, aku bertekad akan membeli rumah secara cicilan melalui KPR.

2 tahun telah berlalu, aku sudah memiliki rumah tipe 21/90, rumah yang sangat kecil, sederhana, hanya dengan dua kamar tidur saja. Itupun cicilan KPR nya masih 13 tahun lagi harus kulunasi. Aku tak tau apakah mereka akan masih tetap menerima ku untuk menjadi menantunya.

Akhirnya malam minggu ini aku beranikan diri menghadap mereka. Kali ini, seperti biasa aku membawakan mereka buah-buahan, dan sekuntum mawar buat si Ani. Calon mertuaku itu terlihat sangat ramah terhadapku. Mereka pun tersenyum saat mendengarkan bahwa diriku telah mempunyai rumah, mereka maklum dan tak berat hati ketika mendengar bahwa cicilan rumah itu masih harus kubayar selama 13 tahun. Akhirnya mereka mengizinkan aku untuk melihat si Ani. Ani membawakanku juz buah strawberry segar, warnanya merah, semerah mawar yang aku berikan kepadanya. Mungkin sebuah tanda bahwa Ani sudah setuju, jika nantinya aku akan melamarnya.

Sambil meminum dan hatiku berbunga-bunga, aku dengan seksama mendengarkan perkataan calon mertuaku. Maaf nak, bukan maksud hati kami untuk tidak senang dengan mobil atau rumah yang diberikan oleh orang tuamu. Alasan kami ada dua, yang pertama kami ingin memberikan nasehat, bahwa hanya harta yang benar-benar halal saja yang boleh menyentuh putri kami ini. Sedangkan kau bisa mendengar, berita yang berkembang di masyarakat Bacang sini, bahwa jalan-jalan yang berlubang di sini adalah karena sang kontraktor tempat ayahmu bekerja telah melakukan pengurangan terhadap anggaran pembuatan jalan dan mengurangi kualitas bahan pembuatnya.

Kau bisa lihat juga di pemda kita, tempat kamu dan ibumu bekerja, masih banyak pungli untuk pengurusan surat-menyurat, pengurusan paspor, dan legalisasi surat tertentu. Banyak masyarakat kita yang mengeluh akan pungli yang sangat memberatkan mereka ini. Kami hanya tak mau nak, bahwa engkau akan mengisikan bara api neraka jahannam ke perut anak dan cucu kami kelak. Sudah menjadi tanggung jawab kamilah untuk memastikan bahwa suami anak kami berasal dari orang-orang yang tidak hanya baik, tapi juga jujur.

Dan alasan kami yang terakhir adalah kami ingin memastikan bahwa anak kami dapat hidup layak, meskipun sederhana, tapi kebutuhan untuk tinggal dan berlindung dari hujan dan sengatan matahari dapat terpenuhi, tak masalah rumah tipe 21 yang kau mampu beli, itupun cicilan masih 13 tahun lagi, tp asalkan semuanya itu berasal dari uangmu sendiri, sungguh rumah itu akan menjadi rumah yang berkah dan penuh cinta nantinya.

Bagaikan seperti disambar geledek. Hal yang selama ini aku anggap lumrah dan wajar, bagi mereka adalah seperti sebuah perkara yang amat sangat dahsyat pentingnya. Aku pun minta ijin, aku pun berjanji kepada Ani, dan akan menemuinya 3 bulan lagi untuk melamarnya bersama orang tuaku. Aku sudah pasrah entah orang tuanya akan menerimaku atau tidak nantinya.

3 bulan yang ditunggu tiba, akhirnya tibalah waktu lamaranku dihadapan mereka dan tentunya gadis yang sangat aku cintai, Ani. Sebelum lamaran aku berkata kepada calon mertuaku itu. Bapak dan ibu tak usah khawatir, selama hampir 4 tahun aku bekerja di Pemda ini, uang yang aku sisihkan untuk membayar cicilan motor dan cicilan rumah adalah dari hasil gaji bersihku sendiri, bukan berasal dari uang pungli yang sering dibayar kepada masyarakat ketika mau urus mengurus surat.

Selama ini aku memang mendapatkan bagian dari uang pungli yang diberikan oleh pimpinanku. Semuanya memang aku terima, tapi tak sedikitpun yang aku simpan, semuanya sebelum solat jumat tiba selalu aku masukkan di dalam kotak infaq, tentunya sambil aku beristighfar. Kami memang bukan dari keluarga religius dan tau banyak tentang agama, tapi bagiku selama kuliah, diriku selalu ditanamkan oleh dosen-dosenku untuk bertindak jujur. Karena jujur adalah berkah, dan berkah itu akan berujung pada kebahagiaan yang hakiki.

Mengenai kedua orang tuaku, 1 bulan yang lalu, harta simpanan mereka yang berasal dari sumber yang tidak halal, sumber yang subhat, atau berasal dari pungli urus mengurus surat di Pemda, telah kami sumbangkan kepada fakir miskin. Saya meyakinkan orang tuaku bahwa, harta warisan yang halal saja yang akan aku terima, sedangkan harta warisan dari sumber yang haram, tak akan sepeserpun kuterima. Tak terasa kedua mata ini menangis, begitu juga kedua orang tuaku, mereka, dan tentu saja Ani, calon isteriku yang air matanya membasahi mawar-mawar merah yang selama ini ia kumpulkan ketika aku dulu menemui orang tuanya.

Setelah mendengar lamaran yang disampaikan oleh ayahku, akhirnya mereka calon mertuaku menyerahkan jawabannya langsung kepada Ani. Ani pun dengan mengucapkan bismillah, dengan yakin menerima lamaranku. Sungguh bahagianya diriku, 1 minggu lagi aku akan menjadi suami si Ani, cinta pertamaku di waktu SMA, Kuliah, hingga saat ini.

——–000———

Tidak ada komentar: