Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

<b></b>

Selasa, 18 Mei 2010

Keluarga Bahagia, bermula dari prasangka anda

Saya lahir dari keluarga sederhana. Aku adalah anak yang paling tua. Namaku Iman, Umurku 24 tahun, dan sampai saat ini kuliahku belumlah lulus. Diriku masih bertengger pada semester 5 jurusan ekonomi universitas Bangun Dewa Madiun. Sedangkan adikku satu-satunya, Ahmad Zulkarnain sedang menjalani pendidikan dokter di UGM.

Banyak hal yang tidak aku mengerti dengan hidupku. Tak ada satupun kelebihanku yang membuat diriku dan membuat orang tuaku bangga. Tampangku pas-pasan, gak bisa dibilang ganteng seperti Afgan, tapi tak pernah dicaci maki karena jeleknya kebangetan seperti Tukul. Untuk soal akademis pun tak jauh bedanya. Masih dalam predikat pas-pasan. Diriku tak terlalu bodoh untuk tidak lulus UAN SD, SMP, dan SMA. Meskipun jangan pula kau rendahkan aku karna diriku tak pernah mendapatkan rangking di sekolahku dulu.

Tapi untuk kuliah, entah kenapa aku tidak lagi menyandang gelar predikat mahasiswa pas-pasan. Mahasiswa seumuran diriku ini sudah seharusnya lulus dari universitas, bekerja di gedung-gedung perbankan atau di perusahaan-perusahaan besar. Tapi diriku disini masih betah saja kuliah, masih kangen dengan kuliah di kelas yang sama, dengan dosen yang sama pula.

Ekstrimnya, Aku adalah mahasiswa bodoh. Meskipun banyak juga teman-teman dikampus dan dosen yang menyindirku dengan sebutan mahasiswa antik atau mahasiswa tipikal E. Aku dipanggil mahasiswa antik, karna mereka tak berani menyebutku sebagai mahasiswa yang tua, lantaran tak lulus-lulus. Para dosen juga memanggilku mahasiswa tipikal E, karena mereka tak sampai hati memanggilku sebagai mahasiswa yang malas dan bodoh, selalu saja mendapatkan nilai E meskipun sudah mengulang beberapa kali mata kuliah.

Aku iri dengan adikku Ahmad. Selain orangnya ganteng, orang tuaku sepertinya lebih mencintai dirinya dibandingkan aku. Untuk uang kiriman bulanan pun aku menaruh curiga padanya, jangan-jangan orangtuaku memberikannya lebih besar dariku. Untuk urusan akademis apalagi, dirinya bisa sampai di kedokteran umum UGM bukan tidak lain adalah karena beasiswa yang diterimanya dari perusahaan farmasi terbesar di Indonesia. Ketika SD dan SMP dirinya kerap kali mendapatkan juara perlombaan cerdas cermat, siswa berprestasi hingga pada waktu SMA ia pun berhasil mengikuti program akselerasi.

Meskipun demikian, aku tidak bisa marah padanya. Orangnya sangatlah rendah hati dan sangat hormat kepada kakaknya. Akhirnya hanya kupendam saja perasaan kesal dalam diriku. Mengapa Tuhan tidak begitu adil dalam menciptakan hamba-hambanya. Mengapa Dia menciptakan aku dengan kondisi yang bodoh dan tampang yang pas-pasan. Lalu mengapa mereka, orang tuaku sendiri juga tidak adil ketika memperlakukannya dan diriku. Mengapa mereka tidak memperlakukan diriku seperti Ahmad, bukankah diriku adalah bukti cinta mereka yang pertama kali. Apakah aku hanyalah anak pungut yang diambil karena pada waktu itu mereka belum mempunyai anak? Aku benci dengan hidupku ini.

Akhirnya kuputuskan untuk pergi dari rumah untuk sementara waktu. Kubohongi kedua orang tuaku dengan mengatakan bahwa di kampus, aku mengikuti kegiatan pendakian gunung Semeru selama seminggu. Tak tega rasanya membuat mereka was-was dan khawatir. Aku tak tau harus kemana. Aku bimbang kemanakah aku harus mengadu dan menyelesaikan masalah ini. Akhirnya atas tawaran Anang, diriku menemani dirinya pulang ke Garut Tasik untuk menjenguk orang tuanya yang sedang sakit keras.

Sampailah aku disana. Di sebuah rumah mungil, beratapkan rumbia. Alas rumahnya pun masih tanah tanpa semen atau keramik putih. Tak berapa lama setelah meletakkan barang bawaan, kami pun masuk ke sebuah kamar yang pintu dan jendelanya dibiarkan terbuka. Di kamar itulah, seorang wanita tua, yang 22 tahun yang lalu telah membesarkan seorang anak yang kini duduk dihadapan dirinya. Kupandangi wajah ibunya Anang yang sedang berbaring lemas di kamarnya itu. Wajah Anang pun tampak lesu, air matanya sudah sampai membasahi kedua pipinya. Tak tega rasa hati ini melihat mereka berpelukan. Sepertinya hati ini sangat merindukan suasana seperti ini. Merasakan bagaimana hangat pelukan seorang ibu yang sangat mencintai dan merindukan anaknya.

Tak berapa lama, seorang gadis kecil membawakan bubur dan obat untuk wanita tua itu. Bisa kutebak ini adalah adiknya Anang. Namanya Sarah, gadis kecil yang cantik dan imut. Mungkin seumuran dirinya masih bersekolah kelas 6 SD.

Setelah lama kami berbincang-bincang dengan ibu dan adiknya, Anang pun mengajakku untuk solat di masjid dekat dengan rumahnya. Maklum waktu itu menunjukkan pukul 3 sore lebih 20 menit, pas ketika adzan sedang berkumandang.

Setelah Sholat ashar, Anang menyuruhku untuk duduk sejenak. Kata Anang, biasanya ba’da solat ashar, kiyai Migdad sering memberikan tausiah singkat untuk para jamaah masjid itu. Mataku memang terasa berat sekali, letih akibat seharian perjalanan ke rumahnya Anang. Sayup-sayup kudengar Kiyai Migdad itu berkata, “Jamaah masjid Baitul hikmah yang saya hormati, hidup ini akan terasa indah dan berbahagia jika kita berprasangka baik kepada Allah. Jika anda merasa bahwa Allah sayang kepada kita, maka kita pun akan menjadi orang yang tersayang di dunia ini. Oleh sebab itu setiap apa yang telah menjadi nasibmu, maka syukurilah, mungkin di dalamnya terdapat hikmah yang belum kita ketahui.

Di akhir ceramahnya, Kiyai Migdad berpesan bahwa segala cobaan dan masalah yang terjadi di kehidupan kita, maka sudah seharusnyalah kita berusaha dan memaksimalkan potensi yang kita miliki untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dan jika nasib kita belum berubah, berbaik sangkalah terhadap Allah, mungkin Ia masih ingin menguji apakah kita termasuk hambanya yang sabar dan bertawakal.

Ditengah perjalanan pulang aku berbincang-bincang mengenai kehidupan keluarganya Anang. Anang bercerita bahwa dirinya ini sebenarnya bukanlah anak dari wanita yang telah aku temui tadi di rumahnya. Ketika ia masih SMA, Ayah dan Ibunya tewas dalam kecelakaan pesawat yang mereka tumpangi ketika mereka sedang dalam perjalanan bisnis menuju Malaysia. Syukur, Anang ketika itu tidak ikut, karena akan mengikuti ujian kenaikan kelas.

Ia pun bercerita, dulunya ia masih merasa sedih jika teringat kecelakaan orang tuanya, bagaimana dirinya yang yatim tanpa ada ayah dan ibu yang bisa berbagi rasa dengan dirinya. Namun dibalik itu ternyata mengandung hikmah yang besar. Hingga SMA, Anang sebenarnya tidak pernah sekalipun mendapatkan siraman rohani yang baik dari ayah dan ibunya. Ayah dan ibunya adalah sosok pengusaha dan wanita karier yang sangat sulit untuk memperhatikan dan mendidik anak satu-satunya itu.

Anang ketika itu adalah seorang remaja yang syarat dengan kenakalan. Sudah berapa banyak macam obat-obatan keras yang ia konsumsi bersama teman-teman gaulnya tersebut. Bahkan, tak hanya itu kadang ketika orang tuanya tidak ada ia sering mengadakan pesta minum dan nyakau bersama dengan teman-temannya. Boro-boro mau sholat dan puasa, ia sama sekali tidak hafal surat al fatihah dan bagaimana caranya membaca/mengaji al Quran. Anang ketika itu adalah terkenal sebagai remaja brandal yang syarat dengan kehidupan malam dan kegiatan foya-foya.

Namun kini dirinya sudah berbeda dengan kondisinya 4 tahun yang lalu. Dengan ajaran dan didikan bibi nya itu, ia bisa mengerti bagaimana cara mendekat dan mengenal Tuhannya. Ia kini tau bagaimana caranya menjadi muslim yang baik, dan tau cara berterimakasih kepada Tuhan karena telah diciptakan dan diberi nikmat yang besar untuk hidup. Ia pun kini menjadi remaja yang baik, yang sudah melupakan masa lalunya sebagai remaja nakal yang syarat dengan kehidupan malam dan foya-foya.

Kalau dulu dikamarnya sering terdengar lagu-lagu rock yang memecahkan telinga, sekarang yang terdengar di kamarnya adalah suara lantunan ayat-ayat al Quran. Anang ingin sekali dengan ayat-ayat suci yang ia bacakan bisa mendatangkan keridhoan Allah buat orang tuanya yang telah meninggal tersebut. Ia ingin di akhirat kelak bisa memperjuangkan nasib orang tuanya yang dahulu ketika masih hidup sangat melalaikan sekali solat lima waktu.

Aku menerawang jauh ke angkasa. Kulihat kondisi dan nasibku sangat jauh lebih beruntung dibandingkan Anang. Aku masih memiliki ayah dan ibu yang sangat perhatian kepadaku. Walaupun aku sangat nakal dan bandel, mereka dengan bijak masih mau menegurku jika diriku melakukan kesalahan. Mereka pun masih mengingatkanku untuk solat, meskipun aku kerap kali berbohong bahwa aku telah solat. Mereka pun telah membiayaiku untuk belajar mengaji di masjid, meskipun seringkali aku berbohong dan membolos. Mereka pun masih bersabar, meskipun kuliahku seharusnya sudah seharusnya tamat 2 tahun yang lalu.

Ya Rabb, aku bersyukur kepadamu, masih memiliki ayah dan Ibu yang baik. Seluruh kebutuhanku, biaya kuliahku dan biaya kuliah adikku masih bisa terpenuhi. Aku pun bersyukur padamu ya Rabb masih bisa melihat mereka, masih merasakan bagaimana mereka sebenarnya sangat mencintaiku. Bagaimana mereka tidak memberikan uang jajan berlebih kepadaku agar aku tidak membelikan uang tersebut dengan narkoba atau minuman keras. Akupun mengerti mengapa mereka lebih rewel menasehatiku agar aku belajar dan beribadah dengan tekun, semuanya ini adalah demi kebaikan dan masa depanku sendiri. Akupun tau mengapa Ahmad dicintai setiap orang, karena dirinya adalah anak yang baik, memiliki akhlak yang terpuji, dan dekat kepada Allah. Tidak seharusnya aku iri kepada orang sebaik dirinya.

Akhirnya seketika itu pula aku menelpon kedua orang tuaku. Kukatakan sebenarnya bahwa aku sebenarnya tidak pergi ke puncak semeru ikut kegiatan pecinta alam. Kukatakan kepada mereka bahwa diriku akan berubah. Jauh seperti Iman yang dulu. Ingin menjadi anak yang berbakti dan bisa menyenangkan mereka. Dekat kepada Allah dan tau bagaimana caranya bersyukur kepada-Nya.

Cer-Pan by Mbah Dharmo Birowo

انظروا إلى من هو أسفل منكم. ولا تنظروا إلى من هو فوقكم؛ فهو أجدر أن لا تَزْدروا نعمة الله عليكم

“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripada kalian dan jangan melihat orang yang lebih di atas kalian. Yang demikian ini (melihat ke bawah) akan membuat kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan-Nya kepada kalian.” (HR. Muslim)

Tidak ada komentar: